PEMBANGUNAN
KOTA EKOLOGIS
Pendahuluan
Masalah
lingkungan utama yang dihadapi dewasa ini pada dasarnya adalah masalah ekologi
manusia. Masalah itu timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan
lingkungan tersebut menjadi kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan
manusia. Jika hal ini tidak segera diatasi pada akhirnya berdampak kepada
terganggunya kesejahteraan manusia. Kerusakan
lingkungan yang terjadi disebabkan eksplorasi sumberdaya alam untuk memenuhi
kebutuhan manusia tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Kerusakan
lingkungan ini telah mengganggu proses alam, sehingga banyak fungsi ekologi
alam terganggu.
Namun
demikian, masalah lingkungan tidak berdiri sendiri, tetapi selalu saling
terkait erat. Keterkaitan antara masalah satu dengan yang lain disebabkan
karena sebuah faktor merupakan sebab berbagai masalah, sebuah faktor mempunyai
pengaruh yang berbeda dan interaksi antar berbagai masalah dan dampak yang
ditimbulkan bersifat kumulatif. Masalah lingkungan yang saling terkait erat
antara lain adalah populasi manusia yang berlebih, polusi, penurunan jumlah
sumberdaya, perubahan lingkungan global dan perang.
Kota Ekologis itu adalah satu suatu kota yang dibangun dan dikebangkan
melalui pendekatan yang didasarkan atas prinsip-prinsip ekologis. Pendekatan
ini dipilih sebagai jawaban atas semakin memburuknya kondisi lingkungan kota
karena pendekatan pembangunan yang lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi
jangka pendek. Sesungguhnya pendekatan pengembangan Kota Ekologis mempunyai
kesamaan dengan konsepsi pendekatan pengembangan kota yang berkelanjutan, yang
menekankan pentingnya menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan
lingkungan dalam pembangunan kota. Kota Ekologis juga mempunyai pandangan jauh
ke depan, bahwa pembangunan kota harus mempertimbangkan keberlanjutan atau masa
depan kota.
Kota yang berkelanjutan adalah kota yang bertumpu pada komunitas
yang adil, sehat dan produktif dan didukung oleh lingkungan yang kondusif
sedangkan Kota Ekologis adalah kota yang efisien dalam penggunaan sumber daya
kota yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan menekan penggunaan sumber daya,
meminimalkan jumlah limbah yang terbuang kedalam lingkungan dan mengurangi penggunaan
air, udara, tumbuhan, fauna, pantai ataupun danau dengan
komponen buatan (jalan, bangunan, jembatan, dan jaringan
sarana-prasarana kota, bangunan, jembatan, dan jaringan sarana-prasarana
kota).
Kota
Ekologis di beberapa kota diwujudkan dalam bentuk program-program yang
bertujuan untuk mencapai ‘kota hijau’. Program kota hijau merupakan program
yang menyatakan perlunya kualitas hidup yang lebih baik serta kehidupan yang
harmonis dengan lingkungannya bagi masyarakat kota. Program-program kota hijau
diantaranya tidak hanya terbatas untuk mengupayakan penghijauan saja akan
tetapi lebih luas untuk mengupayakan konversi energi yang dapat diperbaharui,
membangun transportasi yang berkelanjutan, memperluas proses daur ulang,
memberdayakan masyarakat, mendukung usaha kecil dan kerjasama sebagai tanggung
jawab sosial, memugar tempat tinggal liar, memperluas partisipasi dalam
perencanaan untuk keberlanjutan, menciptakan seni dan perayaan yang bersifat
komunal.
Pendekatan Pembangunan Kota Ekologis
Pembangunan perkotaan di Indonesia sering kali mengabaikan
aspek lingkungan hidup dan keberlanjutan ekosistem di kawasan tersebut,
sehingga berdampak terhadap menurunnya kualitas hidup warga di perkotaan. Salah
satu cara untuk menjaga keselarasan antara pembangunan perkotaan dan
ekosistemnya adalah dengan menerapkan pendekatan konsep perancangan ekologis
pada kawasan yang akan dikembangkan. Perancangan ekologis ialah suatu proses desain
dimana perancangnya meminimalisir dan mengantisipasi secara komprehensif segala
dampak merugikan dari produk suatu proses desain terhadap ekosistem dan sumber daya
bumi serta pemberian prioritas terhadap penyisihan yang terus berjalan dan
menimalisir dampak-dampak merugikan tersebut. Karena
itulah konsep perancangan ekologis diharapkan mampu menjadi salah satu solusi
bagi pengembangan kawasan
permukiman untuk meningkatkan
kualitas hidup warga sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem kota.
Sumbangan
pemikiran terhadap konsep kota yang berwawasan lingkungan memberikan pengertian
yang luas. Pemahaman yang sinonim dengan konsep kota yang berkelanjutan,
melahirkan istilah kota ekologis serta istilah lain yang dikenal dengan kota
hijau dan kota organik. Selanjutnya menurut Hill (1992) bahwa kota seharusnya
didorong untuk mendukung kebutuhan manusia secara organik dan pemenuhan diri
secara terus menerus sampai mencapai tingkatan yang tertinggi, dimana
lingkungan yang dibangun mendukung dan menegaskan secara positif mengenai
pembangunan manusia dan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Melibatkan
alam dalam membangun kota, seperti yang diusulkan Ebenezer Howard (1898)
menjadi landmark dalam perencanaan kota, kemudian konsep tersebut dikenal
dengan konsep kota taman. Howard dengan konsepnya tersebut memandang bahwa kota
dengan skala yang besar tidak akan memberikan tempat yang cocok untuk tinggal,
dimana ia mengindikasikan kota yang besar sebagai bentuk rencana yang tidak
ideal, lingkungan yang tidak sehat sehingga kota tersebut akan mati. Kota taman
yang dimaksudkan Howard, memiliki batasan-batasan dimana ia menyarankan jumlah
penduduk sebanyak 32.000 jiwa dalam lahan seluas kurang lebih 405 ha (4.050.000
m²) dan lahan tersebut dilingkupi oleh lingkungan hijau yang luas.
Sementara
Pattrick Geddes (1915) percaya bahwa perencanaan kota didasarkan pada
pengetahuan tentang alam dan sumber daya suatu wilayah. Misalnya secara khusus
ia memandang kawasan lembah sungai sebagai unit alami untuk menguji berbagai
aktivitas yang berbeda terkait dengan kota. Dan juga Geddes sudah meramalkan
adanya pengaruh yang penting tentang perkembangan kota yang terdesak oleh
teknologi dan mode transportasi. Ramalan tersebut ada benarnya, seperti halnya
yang terjadi saat ini. Lebih lanjut menurutnya bahwa dengan adanya perembetan
kota tersebut maka menyebabkan penggunaan sumber daya dan enegi menjadi tidak
teratur dan menjauhkan diri manusia dari alam. Dengan demikian hal ini akan
sangat penting untuk membawa kembali alam ke dalam kota.
Berbeda
dengan Howard yang kurang menerima kota dengan skala besar karena dianggap
tidak ideal, maka Alexander (1967, 1969) berpendapat bahwa kota besar bisa ditentukan
melalui pusat-pusat kota yang saling berhubungan dan mendukung kota serta
pertumbuhannya berdasarkan perkembangan organik pada tingkat distrik dalam
suatu kota.
Sejalan
dengan pendapat Howard dan Geddes, Lewis Mumford (1961) menggabungkan konsep
tersebut dengan menyertakan elemen ikatan sosial untuk menciptakan hubungan
yang langsung antara kawasan ekologis dengan wilayah perkembangan kota. Usulan
Mumford melibatkan konsep baru tentang kota taman, pembangunan kota yang
desentralistik, dan lokasi yang terletak di kawasan lembah sungai (Hill, 1992).
Lebih detail mengenai konsep kota ekologis, Ian McHarg(1969) menunjukkan tema
‘desain dengan alam’, sama halnya dengan Geddes, ia mendukung adanya pengujian
terhadap kondisi alam suatu kawasan sebelum mengajukan pembangunan suatu kota.
Hal yang berbeda dengan Howard, Mumford dan Alexander adalah bahwa McHarg
memiliki perhatian yang kecil pada interaksi manusia, perkembangan distrik,
hirarki wilayah dan prinsip umum tentang bentuk kota, dimana lingkungan alami
dirubah berdasarkan produk rencana yang disiapkan yaitu berupa blueprint.
Implikasi
dari pendekatan-pendekatan yang disampaikan Howard, Geddes, Mumford dan McHarg,
adalah menghindari pembangunan kawasan yang tidak terbangun. Secara khusus, hal
ini menekankan pada kebutuhan terhadap rencana pengembangan kota dan kota-kota
baru yang memperhatikan kondisi ekologis lokal serta bertujuan untuk
meminimalkan dampak yang merugikan dari pengembangan kota. Selanjutnya juga
memastikan pengembangan kota yang dengan sendirinya menciptakan aset alami
lokal.
Sinergi dengan pendekatan-pendekatan
tersebut dimana substansinya secara jelas menerangkan konsep kota alami untuk
menuju kota yang berwawasan lingkungan (ekologis). Konsep-konsep tersebut
tercermin dalam perumusan visi tentang kota ekologis dimana hal tersebut
digambarkan dengan beberapa visi yang mendukung eksistensi dan tujuan kota
ekologis. Visi tentang kota ekologis yang dimaksud adalah menciptakan kota yang
selaras, serasi dengan alam dan lingkungannya. Dimana pandangan-pandangan yang
berkembang sesuai dengan visi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
o
Perencanaan perumahan yang
diadaptasikan dengan alam dan mempertimbangkan faktor-faktor biologis
o
Keseimbangan ruang-ruang kota dan
desa tanpa saling bertentangan
o
Perencanaan area bangunan dan
perumahan yang selaras dengan iklim
o
Upaya desentralisasi terhadap sistem
penyediaan energi yang selaras dengan sistem kehidupan
o
Pertanian yang tersebar mengikuti
kontur alami dari lahan
o
Pola jalan-jalan yang menyesuaikan
dengan kondisi lahan
o
Perlindungan suatu lahan untuk
memelihara evolusi alami
o
Sungai penyangga yang menjaga
kemampuan alami untuk recovery dan self-regulation
o
Perlindungan permukaan lahan melalui
rencana transportasi yang cocok
o
Desain yang menyatu dengan sejarah
dan karakteristik lokal
o
Variasi desain yang fleksibel
menyatu dengan pengalaman penghuni
o
Komunitas yang koopratif dan
hubungan yang baik
o
Desain yang memelihara lansekap
alami
o
Zoning dan gaya bangunan yang
beradaptasi dengan iklim
o
Preservasi pusat kota
o
Desain ruang untuk pedestrian/jalan
yang tidak menutup secara total dari permukaan lahan
o
Ruang-ruang mix-used untuk tempat
tinggal, bekerja dan kegiatan lainnya
o
Menciptakan ruang kehidupan untuk
manusia, binatang dan tumbuhan
o
Kota sebagai ekosistem dari
elemen-elemen yang menyatu
o
Kota merupakan gambaran kehidupan
Dengan
demikian secara praktis kota ekologis merupakan kota yang mengurangi beban dan
tekanan lingkungan, meningkatkan kondisi tempat tinggal dan membantu mencapai
pembangunan berkelanjutan termasuk peningkatan kota yang komprehensif. Kota
ekologis melibatkan perencanaan dan manajemen lahan dan sumberdaya serta
implementasi peningkatan lingkungan secara terukur.
Pada
perancangan kota ekologi, ada tiga prinsip utama yang harus dipenuhi yaitu: (1)
kesesuaian dengan iklim; (2) efisiensi sumberdaya, dan (3) efisiensi energi.
Ketiga prinsip tersebut mendasari semua komponen dalam perancangan pembangunan kota ekologi, yang
saling berintegrasi. Keterpaduan anta komponen dalam perancangan kota ekologi
merupakan salah satu jalan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Adapun
komponen perancangan pembangunan kota ekologi terdiri dari: (1) tata guna
tanah, (2) bangunan, (3) transportasi, (4) infrastruktur, (5) lansekap kota
yang satu dengan lainnya saling terkait.
Pada
tata guna tanah, beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam perancangan kota
ekologi adalah: (1) tata guna tanah campuran, (2) pemakaian lahan dengan lebih
kompak, (3) integrasi antara tata guna tanah dan intrastruktur, (4) pemakaian
lahan untuk kegiatan skala kecil dan, (5) lebih banyak disediakan ruang
terbuka.
Tata
guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan penggunaan
tanah secara terencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional. Tata guna tanah adalah usaha untuk menata
proyek-proyek pembangunan, baik yang diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh
dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai dengan daftar sekala prioritas,
sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib penggunaan tanah, sedangkan di
pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku.
Pada
komponen bangunan, rancangan bangunan harus dipikirkan secara menyeluruh. Dari
sudut pandang ini kita dapat mengkaji bagaimana tapak, bentuk, material dan
struktur bangunan dapat dipakai untuk mengurangi konsumsi energi, tetapi tetap
nyaman dipakai. Beberapa upaya yang harus dilakukan untuk mencapai bangunan
hijau adalah: (1) konservasi energi, (2) kesesuaian dengan iklim, (3)
mengurangi pemakaian sumberdaya baru, (4) memperhatikan tapak, (5)
memperhatikan pemakai, dan (6) dirancang secara menyeluruh.
Komponen
kota ekologi berikutnya adalah transportasi. Ada empat prinsip mekanisme yang
diperlukan untuk mencapai strategi transportasi berkelanjutan yaitu: (1)
mekanisme aturan yang bertujuan membatasi tingkat polusi yang dihasilkan oleh
kendaraan, (2) mekanisme financial, melalui pajak-pajak energi, meliputi pajak
pemakaian bahan baker dan pengeluaran emisi ke udara, (3) mendorong
dilakukannya penelitian dan pengembangan terhadap kendaraan yang efisien dalam
pemakaian bahan baker, serta alternative teknologi transportasi, (4) adanya
integrasi dalam perencanaan tata guna tanah dan transportasi, untuk
meminimalkan jarak capai, mendorong dipakainya transportasi umum, serta
meningkatkan kemudahan pencapaian terhadap fasilitas transportasi.
Komponen
lansekap kota terdiri atas ruang terbuka, pemanfaatan tanaman, pertanian kota
dan hutan kota. Segala infrastruktur yang berkaitan dengan kota ekologi harus
diperhatikan dan dipertimbangkan dengan teliti dan akurat.
Kota
yang secara ekologis dikatakan kota yang sehat. Artinya terjadi keseimbangan
antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan.
Pengertian yang lebih luas ialah adanya hubungan timbal balik antara kehidupan
kota dengan lingkungannya. Secara mendasar kota bisa dipandang fungsinya
seperti suatu ekosistem. Ekosistem kota memiliki keterkaitan sistem yang erat
dengan ekosistem alami.
Penutup
Kota
berkelanjutan memiliki makna yang luas, namun sering kali pemahamannya dilihat
dari segi konteks dan substansi mengarah pada keberadaan kota yang memperhatikan
lingkungan. Walaupun konteks dan substansi ini berada dalam lingkup yang
meletakkan lingkungan sebagai aspek yang penting, akan tetapi juga memerlukan
berbagai pendekatan dengan melibatkan aspek-aspek lain yang komprehensif.
Dengan kata lain, bidang-bidang yang terkait tidak hanya berhubungan dengan
lingkungan saja, namun secara bersama-sama mengkaitkan pula bidang-bidang yang
lain misalnya: perencanaan dan desain, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya,
serta politik. Kota berkelanjutan mendekati visi tentang kota yang
dicita-citakan, dimana ia dihadapkan pada berbagai permasalahan-permasalahan
yang tidak mudah untuk menyelesaikannya.
Mengenai
permasalahan ekonomi dan lingkungan menjadi hal yang perlu diperhatikan, dimana
dengan hal tersebut menjadi semakin lebih sulit menggambarkan kota yang
memiliki arti yang luas pada kota-kota yang terpencil atau daerah-daerah
pedalaman yang kurang meng-kota. Hal ini jauh berbeda dari pemikiran baru
tentang kota, dimana karakteristik kota sebagai sistem yang terbuka, yaitu
sistem-sistem kota menyatu dengan sistem-sistem lingkungan dan ekonomi. Hal ini
merupakan pemikiran yang telah lama diterima oleh para ahli geografi dan
lainnya (Perloff, 1969).
Fungsi
kota ekologi menurut prinsip-prinsip tertentu, dimana jika dipahami oleh kita,
dapat mempengaruhi kota dalam petunjuk yang postif. Prinsip-prinsip tersebut
meliputi:
a.
Skala kecil dan sangat memenuhi syarat,
b.
Akses menurut kedekatan,
c.
Pemusatan kembali dengan skala kecil,
d.
Perbedaan adalah sesuatu yang baik,
Dalam
implementasinya kota ekologis harus mampu mencerminkan sebagai kota yang
berkelanjutan. Kota ekologis direncanakan seharusnya memiliki tujuan dalam
penggunaan sumber daya yang seminimal mungkin serta memberikan dampak yang
sekecil mungkin. Kota harus mampu mendaur-ulang sumber-sumber daya tersebut.
Dalam konteks ini, kota ekologis memiliki prinsip yang berbeda dengan kota
modern. Perbedaan tersebut terletak pada penggunaan sumber-sumber daya dan
dampak yang ditimbulkannya. Pergeseran paradigma ini merupakan konsekuensi
logis untuk mencapai tujuan sebagai kota ekologis. Namun hal yang tersulit
untuk membentuknya adalah proses dalam menangani sumber daya tersebut, karena
diperlukan upaya mendaur-ulang sumber daya tersebut.
Sumber :
- http://mkusumawijaya.wordpress.com/tag/kota-ekologis/
- https://www.scribd.com/doc/61423719/Bag-01-Kota-Ekologis
- http://putuplanology.blogspot.com/2012/06/mencapai-kotalayak-huni-melalui konsep.html
- http://vitate-a-joel.blogspot.com/2011/11/prinsip-prinsip-kota-ekologis.html